Jumat, 28 Maret 2014

Sejarah bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia mempunyai sejarah jauh lebih panjang daripada Republik ini sendiri. Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai bahasa nasional sejak tahun 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat itu bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai perekat bangsa.
Saat itu bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan antaretnis (lingua franca) yang mampu
merekatkan suku-suku di Indonesia. Dalam perdagangan dan penyebaran agama pun bahasa Indonesia mempunyai posisi yang penting.[1]



Sebagai bangsa Indonesia, kita beruntung sekali memiliki bahasa persatuan yang bisa dipergunakan sebagai alat komunikasi oleh seluruh elemen bangsa. Bayangkan, bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa akan mengalami kesulitas yang cukup serius bila tidak memiliki bahasa nasional yang sama, yakni bahasa Indonesia.




Tidak banyak negara-negara di dunia yang seberuntung Indonesia, bisa memiliki bahasa nasional. Cobalah kita tengok Negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Filipina, Singapura, India, Australia, bahkan amerika pun tidak memiliki bahasa nasionalnya sendiri. Mereka mayoritas masih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya. Bahasa nasional kita, yang dinamakan Bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Melayu, yakni salah satu rumpun bahasa daerah di bumi nusantara ini. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mempersatukan bangsa yang terdiri dari berbagai ragam suku. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat pemersatu dalam perjuangan fisik maupun diplomasi pada saat era penjajahan Belanda. Selanjutnya, bahasa Indonesia ini secara luas dipergunakan di hamper seluruh bidang kehipan masyarakat dan bangsa Indonesia.[2]




A Teeaw dalam Minto Rahayu menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang telah berabad-abad tumbuh dengan perlahan-lahan di kalangan penduduk di kawasan asia selatan, dan setelah bangkitnya pergerakan rakyat Indonesia pada abad XX, dengan insyaf diangkat dan dimufakati serta dijunjung sebagai bahasa persatuan.[3]





Sedangkan Amin Singgih dalam Minto Rahayu menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia ialah bahasa yang dibuat, dimufakati, dan diakui, serta digunakan oleh masyarakat seluruh Indonesia sehingga sama sekali bebas dari unsur-unsur daerah yang belum umum dalam bahasa kesatuan kita. Dengan kata lain, bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang sudah menyatu benar dengan bahasa suku-suku bangsa yang ada di kepulauan nusantara.Adapun bahasa daerah yang disumbangkan, betul-betul telah menyatu dan tidak lagi terasa sebagai bahasa daerah.[1]




Lebih jauh lagi Purbatjaraka dalam Minto Rahayu mengatakan bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa yang sejak kejayaan Sriwijaya telah menjadi bahasa pergaulan atau lingua franca di seluruh kawasan asia tenggara.



Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan Aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.[2]

Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga



bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.[1]



Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:




(1) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau pulau lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.



(2) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.



(3) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.



(4) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.[2]




Di samping itu, ketika penjajah Jepang mulai masuk ke Indonesia, mereka semakin mendorong penggunaan bahasa Indonesia. Pada tahun 1953, Poerwodarminta mengeluarkan Kamus Bahasa Indonesia yang pertama. Di situ tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa Indonesia mencapai 23.000. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia, dan terdapat 1.000 kata baru. Artinya, dalam waktu 23 tahun hanya terdapat 1.000 penambahan kata baru. Tetapi pada tahun 1988, terjadi loncatan yang luar bisa. Dari 24.000 kata, telah berkembang menjadi 62.000. Selain itu, setelah bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, berhasil dibuat 340.000 istilah di berbagai bidang ilmu. Malahan sampai hari ini, Pusat Bahasa berhasil menambah 250.000 kata baru. Dengan demikian, sudah ada 590.000 kata di berbagai bidang ilmu. Sementara kata umum telah berjumlah 78.000.[1]







0 komentar:

Posting Komentar